BAB
I
KONSEP
DASAR HIV/AIDS
A. Pengertian
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
adalah suatu penyakit yang ditimbulkan sebagai dampak berkembang biaknya virus
HIV (Human Immunodeficiency Virus) didalam tubuh manusia, yang mana virus ini
menyerang sel darah putih (sel CD4) sehingga mengakibatkan rusaknya sistem
kekebalan tubuh. Hilangnya atau berkurangnya daya tahan tubuh membuat si
penderita mudah sekali terjangkit berbagai macam penyakit termasuk penyakit
ringan sekalipun.
Virus HIV menyerang sel putih dan
menjadikannya tempat berkembang biaknya Virus. Sel darah putih sangat
diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika
tubuh kita diserang penyakit, Tubuh kita lemah dan tidak mampu melawan penyakit
yang datang dan akibatnya kita dapat meninggal dunia meski terkena influenza
atau pilek biasa.
Ketika tubuh manusia terkena virus HIV maka
tidaklah langsung menyebabkan atau menderita penyakit AIDS, melainkan
diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk
menyebabkan AIDS atau HIV positif yang mematikan.
HIV, virus penyebab AIDS, dapat menular dari
ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30
persen bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Ibu dengan
viral load tinggi lebih mungkin menularkan HIV kepada bayinya. Namun tidak ada
jumlah viral load yang cukup rendah untuk dianggap "aman". Infeksi
dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat
sebelum atau selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses
persalinan berlangsung lama. Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan
darah ibunya. Meminum air susu dari ibu yang terinfeksi dapat juga
mengakibatkan infeksi pada si bayi. Ibu yang HIV-positif sebaiknya tidak memberi
ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi risiko infeksi ketika sang ayah yang
HIV-positif, banyak pasangan yang menggunakan pencucian sperma dan inseminasi
buatan.
B. Etiologi
Penyebab
AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier
dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy
Associated Virs (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984
mengisolasi (HIV). Kemudian
atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV.
Human Immunodeficiency Virus adalah
sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang
inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel
target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk
virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan
seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan
inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup
penderita tersebut.
Secara
mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein.
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus
(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif
terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah
dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium
hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar
utraviolet.
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen,
air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel
monosit, makrotag dan sel glia jaringan otaK
Penularan
virus HIV/AIDS terjadi karena beberapa hal, di antaranya ;
1.
Penularan melalui darah, penularan
melalui hubungan seks (pelecehan seksual).(WHO, 2003).
2.
Hubungan seksual yang berganti-ganti
pasangan
3.
Perempuan yang menggunakan obat bius
injeksi dan bergantian memakai alat suntik.
4.
Individu yang terpajan ke semen atau
cairan vagina sewaktu berhubungan kelamin dengan orang yang terinfeksi HIV.
5.
Orang yang melakukan transfusi darah
dengan orang yang terinfeksi HIV, berarti setiap orang yang terpajan darah yang
tercemar melalui transfusi atau jarum suntik yang terkontaminasi.
F. Penularan
HIV dari Wanita ke Bayinya
Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan
seksual yang tidak aman (biseksual atau hommoseksual), pemakaian narkoba
injeksi dengan jarum bergantian bersama
penggidap HIV, tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat
kesehatan yang tidak steril, serta alat untuk menorah kulit. Menurut CDC
penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara berurutan dari yang terbesar
adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita heteroseksual 34%,
dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%.
Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita
hamil dapat melalui hubungan seksual. Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa
penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke isterinya sejumlah 22% dan isteri
yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun penelitian ain mendapatkan
serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi positif) dalam 1-3
tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami dianggap
sama.
Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa
melalui darah, penularan melalui hubungan seks. Penularan dari ibu ke anak
karena wanita yang menderita HIV atau AIDS sebagian besar (85%) berusia subur
(15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bisa terjadi saat
kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi penularan HIV
dari ibu ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan
belum ada gejala AIDS kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan
kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%.
Penularan juga terjadi pada proses persalinan
melalui transfuse fetomaternal atau kontak antara kulit atau membrane mukosa
bayi dan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Semakin lama proses
persalinan semakin besar resiko, sehingga lama persalinan bisa dicegah dengan
operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post partum
melalui ASI, resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%.
Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual.
Virus ini hanya dapat ditularkanmelalui kontak langsung dengandarah, semen, dan
sekret vagina. Dan sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan
seksual. HIV tergolong netrovirus yang memiliki materi genetik RNA. Bilamana
virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA diubah menjadi DNA
oleh enzim reverse transcriptase. DNA
provirus tersebut diintegrasikan kedalam sel hospes dan selanjutnya
diprogramkan untuk membentuk gen virus.
Penularan secara vertikal dapat terjadi
setiap waktu selama kehamilan atau pada periode intrapartum atau postpartum.
HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12 dan 24 minggu dan terinfeksi
intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal terjadi sebelum
persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan serviks,
vagina, sekresi serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama
persalinan. Lingkungan biologis, dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes
simpleks, dan SST (Serum Test for Syphilis) yang positif meningkatkan
prevalensi infeksi HIV karena adanya luka-luka merupakan tempat masuknya HIV.
Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HIV akan aktif
mencari luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam
peredaran darah[10].
Perubahan anatomi dan fisiologi maternal
berdampak pula pada perubahan uterus, serviks dan vagina, dimana terjadi
hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya elastisitas dan penumpukan
jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi, kongesti, udem pada
trimester pertama, keadaan ini mempermudah erosi ataupun lecet pada saat
hubungan seksual. Keadaan ini juga merupakan media untuk masuknya HIV.
Penularan HIV yang paling sering terjadi antara pasangan yang salah satunya
sudah terinfeksi HIV mendekati 20% setelah melakukan hubungan seksual dengan
tidak menggunakan kondom[10].
Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat
meningkatkan penularan HIV heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada
saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ
vital, yang disebabkan oleh infeksi sifilis atau herpes simpleks, meningkatkan
transfer virus melalui lesi sehingga terjadi kerusakan membran mukosa dan
merangsang limfosit CD4 untuk bergabung dengan jaringan yang mengalami
inflamasi.
PERIODE
PRENATAL
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan
meningkat (ACOG, 1992a). Riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan
laboratorium harus meregleksikan perkiraan ini jika wanita dan bayi baru lahir
akan menerima perawatan yang tepat. Individu yang berada pada kategori infeksi
HIV meliputi:
- Wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;
- Wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;
- Wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;
- Wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;
- Setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.
Informasi tentang HIV dan ketersediaan
pemeriksaan HIV harus ditawarkan kepada wanita berisiko tinggi pada saat
pertama kali mereka dating ke perawatan prenatal. Hasil negative pada
pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi bahwa titer selanjutnya
akan negative.
Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan
adanya gonrorea, C. trachomatis, hepatitis B, Micobacterium tuberculosis,
kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi vaginal kronis), sitomegalovirus
(CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar setengah jumlah penderita AIDS mengalami
peningkatan titer.
Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis.,
keletihan, anoreksia, dan penurunan berat badan. Menyerupai tanda dan gejala
infeksi HIV. Diagnosis banding semua keluhan akibat kehamilan dan gejala
infeksi dibenarkan. Tanda-tanda utama perburukan infeksi HIV meliputi penurunan
berat badan, lebih dari 10% berat badan sebelum hamil, diare kronis selama
lebih dari satu bulan, dan demam (intermiten atau konstan) selama lebih dari
satu bulan.
Untuk
menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup nutrisi
optimum, tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress. Apabila infeksi
HIV didiagnosis, wanita diberi penjelasan tentang teknik berhubungan seksual
yang lebih aman. Penggunaan kondom dan spermisida 9 non-oksinol dianjurkan
untuk meminimalkan pemaparan HIV lebih jauh jika pasangan wanita tersebut merupakan
sumber infeksi. Hubungan seksual orogenital tidak dianjurkan. Hal yang sama
penting ialah merujuk wanita tersebut menjalani rehabilitasi untuk menghentikan
penyalahgunaan substansi. Penyalahgunaan alcohol atau obat-obatan lain
mengganggu sistem imun tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan kondisi terkait :
- Sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan penyakit
- Alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif untuk AIDS
- Dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih cenderung terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS aatau meningkatkan pemaparan terhadap HIV
- Alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah tidur, yang membahayakan fungsi sistem imun.
Terapi farmakologi untuk infeksi HIV
berkembang dengan pesat sejak virus tersebut ditemukan. Obat primer yang
disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah 3’azido-3’-deoksitimidin (zidovudin,
AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini menjanjikan hasil yang baik bagi terapi
infeksi HIV, penggunaannya dalam kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek
mutagenic atau toksik potensial pada janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada
beberapa penelitian terkendali pada wanita hamil, yang memiliki hitung sel T-helper
kurang dari 400 sel/mm3 dan terbukti secara signifikan mengurangi
risiko transmisi HIV dari wanita terinfeksi ke janinnya.
PERIODE INTRAPARTUM
Perawatan wanita bersalin tidak secara
sustansial berubah karena infeksi asimptomatik HIV. Model kelahiran yang akan
dilakukan didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena virus menembus
plasenta pada tahap awal kehamilan.
Focus utama adalah mencegah persebaran
nosokomial HIV dan melindungi tenaga keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV
dianggap rendah selama proses kelahiran per vaginam terlepas dari kenyataan
bahwa bayi terpapar pada darah, cairan amniotic, dan sekresi vagina ibunya.
Pemantauan janin secara elektronik dan
eksternal lebih dipilih jika pemantauan diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi
virus ke neonates jika pengambilan sampel darah dilakukan pada kulit kepala
janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala janin. Selain itu, individu
yang melakukan salah satu prosedur ini berisiko tertusuk jarum pada jarinya.
PERIODE PASCAPARTUM
Hanya
sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama
periode pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan,
follow-up yang lebih lama menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi
pada ibu yang anaknya menderita penyakit. Konseling tentang pengalihan
pengasuhan anak dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu merawat diri mereka.
Terlepas
dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan dengan cara yang
peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai
kemanusiaan. Infeksi HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu
komentarmoral. Sangat penting untuk diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi
(pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku tidak boleh mempengaruhi
kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang efektif, penuh kasih
sayang, dan obyektif kepada semua individu.
Bayi
baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan
kewaspadaan universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya,
sebagaimana yang dilakukan pada semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke
tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam terapi AIDS dan kondisi terkait.
Ibu
HIV-positif dapat mengurangi risiko bayinya tertular dengan:
Mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV)
Resiko penularan sangat rendah bila terapi
ARV (ART) dipakai. Angka penularan
hanya 1 persen bila ibu memakai ART. Angka ini kurang-lebih 4 persen bila ibu memakai AZT selama minggu enam
bulan terahkir kehamilannya dan bayinya diberikan AZT selama enam pertama
hidupnya.
Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia
mulai sakit melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan
ini. AZT dan 3TC dipakai selama waktu
persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir. Satu
tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi
diberi pada bayi 2-3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT
selama persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun,
resistansi terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan
yang memakai satu tablet waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang
dipakai kemudian oleh ibu. Resistansi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu
menyusui. Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di negara
berkembang.
Menjaga proses kelahiran tetap
singkat waktunya
Semakin lama proses kelahiran, semakin besar risiko
penularan. Bila si ibu memakai AZT dan mempunyai viral load di bawah 1000,
risiko hampir nol. Ibu dengan viral load tinggi dapat mengurangi risiko dengan
memakai bedah Sesar.
Menghindari menyusui
Kurang-lebih 14 persen bayi terinfeksi HIV melalui ASI
yang terinfeksi. Risiko ini dapat dihindari jika bayinya diberi pengganti ASI
(PASI, atau formula).
Namun jika PASI tidak diberi secara benar, risiko lain
pada bayinya menjadi semakin tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air
bersih, atau masalah biaya menyebabkan jumlah formula yang diberikan tidak
cukup, lebih baik bayi disusui. Yang terburuk adalah campuran ASI dan PASI.
Mungkin cara paling cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah menyusui
secara eksklusif (tidak campur dengan PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian
diganti dengan formula secara eksklusif (tidak campur dengan ASI).
g. Infeksi pada Bayi
Jika dites HIV, sebagian
besar bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV-positif menunjukkan hasil positif. Ini
berarti ada antibodi terhadap HIV dalam darahnya. Namun bayi menerima antibodi
dari ibunya, agar melindunginya sehingga sistem kekebalan tubuhnya terbentuk
penuh. Jadi hasil tes positif pada awal hidup bukan berarti si bayi terinfeksi.
Jika bayi ternyata terinfeksi, sistem kekebalan tubuhnya
akan membentuk antibodi terhadap HIV, dan tes HIV akan terus-menerus menunjukkan
hasil positif. Jika bayi tidak terinfeksi, antibodi dari ibu akan hilang
sehingga hasil tes menjadi negatif setelah kurang-lebih 6-12 bulan.
Sebuah tes lain, upa dengan tes viral load dapat
dipakai untuk menentukan apakah bayi terinfeksi, biasanya beberapa minggu
setelah lahir. Tes ini, yang mencari virus bukan antibodi, saat ini hanya
tersedia di Jakarta, dan harganya cukup mahal.
h. Kesehatan Ibu
Penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif
yang hamil tidak menjadi lebih sakit dibandingkan yang tidak hamil. Ini berarti
menjadi hamil tidak mempengaruhi kesehatan perempuan HIV-positif.
Namun, terapi jangka pendek untuk mencegah penularan pada
bayi bukan pilihan terbaik untuk kesehatan ibu. ART adalah pengobatan baku.
Jika seorang perempuan hamil hanya memakai obat waktu persalinan, kemungkinan
virus dalam tubuhnya akan menjadi resistan terhadap obat tersebut. Hal ini
dapat menyebabkan masalah untuk pengobatan lanjutannya.
Seorang ibu hamil
sebaiknya mempertimbangkan semua masalah yang mungkin terjadi terkait ART:
Jangan
memakai ddI bersama dengan d4T dalam ART-nya karena kombinasi ini dapat
menimbulkan asidosis laktik dengan angka tinggi.
2. Jangan memakai efavirenz atau indinavir selama kehamilan.
3. Bila CD4-nya lebih dari 250, jangan mulai memakai nevirapine.
Beberapa dokter mengusulkan perempuan berhenti
pengobatannya pada triwulan pertama kehamilan.
i. Cara Penularan HIV/AIDS
1. Utamanya melalui hubungan seks yang tidak aman ( tanpa kondom ) dengan pasangan yang sudah tertular, baik melalui
hubungan seks vaginal, oral, maupun anal ( Anus ).
2. Memakai jarum suntik bekas dipakai orang yang terinfeksi
virus HIV.
3. Menerima
transfusi darah yang terinfeksi virus HIV.
4. Ibu hamil yang terinfeksi virus HIV akan ditularkan kepada
bayinya.
j. Cara Pencegahan HIV - AIDS
Lima cara pokok untuk mencegah penluaran HIV-AIDS yaitu :
Tidak melakukan hubungan seks pra nikah atau hubungan
seks bebas baik oral vaginal, anal dengan orang yang terinfekasi
Saling setia, hanya melakukan hubungan seks dengan
pasangan yang sah.
Pemakaian kondom dapat mengurangi tetapi tidak dapat
menghilangkan sama sekali resiko penularan HIV/AIDS.
Tolak penggunaan narkoba ,khususnya narkoba suntik.
Jangan memakai jarum suntik bersama.
Hindari hubungan seksual sampai pengobatan antibiotik
selesai.
Sarankan juga pasangan seksual kita untuk diperiksa guna
mencegah infeksi lebih jauh dan mencegah penularan
Wanita tuna susila agar selalu memeriksakan dirinya
secara teratur, sehingga jika terkena infeksi dapat segera diobati dengan benar
Pengendalian penyakit menular seksual ini adalah dengan
meningkatkan keamanan kontak seks dengan menggunakan upaya pencegahan.
k. Penanganan Dan Pengobatan AIDS
Kendatipun dari berbagai negara terus melakukan
researchnya dalam mengatasi HIV AIDS, namun hingga saat ini penyakit AIDS tidak
ada obatnya termasuk serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari
Virus HIV penyebab penyakit AIDS. Adapun tujuan pemberian obat-obatan pada
penderita AIDS adalah untuk membantu memperbaiki daya tahan tubuh, meningkatkan
kualitas hidup bagi meraka yang diketahui terserang virus HIV dalam upaya
mengurangi angka kelahiran dan kematian.
Antibiotik adalah pengobatan untuk gonore. Pasangan
seksual juga harus diperiksa dan diobati sesegera mungkin bila terdiagnosis
gonore. Hal ini berlaku untuk pasangan seksual dalam 2 bulan terakhir, atau
pasangan seksual terakhir bila selama 2 bulan ini tidak ada aktivitas seksual.
Banyak antibiotika yang aman dan efektif untuk mengobati gonorrhea, membasmi
N.gonorrhoeae, menghentikan rantai penularan, mengurangi gejala, dan mengurangi
kemungkinan terjadinya gejala sisa.
Pilihan utama adalah penisilin + probenesid. Antibiotik
yang dapat digunakan untuk pengobatan gonore, antara lain:
1.
Amoksisilin 2 gram + probenesid 1 gram, peroral
2.
Ampisilin 2-3 gram + probenesid 1 gram. Peroral
3.
Azitromisin 2 gram, peroral
4.
Cefotaxim 500 mg, suntikan Intra Muskular
5.
Ciprofloxacin 500 mg, peroral
6.
Ofloxacin 400 mg, peroral
7.
Spectinomisin 2 gram, suntikan Intra Muskular
Obat-obat tersebut diberikan dengan dosis tunggal.
Pengobatan
pada Hamil/menyusui
Pada wanita hamil tidak dapat diberikan obat golongan
kuinolon dan tetrasiklin. Yang direkomendasikan adalah pemberian obat golongan
sefalosporin (Seftriakson 250 mg IM sebagai dosis tunggal). Jika wanita hamil
alergi terhadap penisilin atau sefalosporin tidak dapat ditoleransi sebaiknya
diberikan Spektinomisin 2 gr IM sebagai dosis tunggal. Pada wanita hamil juga
dapat diberikan Amoksisilin 2 gr atau 3 gr oral dengan tambahan probenesid 1 gr
oral sebagai dosis tunggal yang diberikan saat isolasi N. gonorrhoeae yang
sensitive terhadap penisilin. Amoksisilin direkomendasikan unutk pengobatan
jika disertai infeksi C. trachomatis.
l. Pemeriksaan Diagnostik
Tes-tes
saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat menunjukkan
tes negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba mengembangkan
prosedur siap pakai yang tidak mahal untuk membedakan respons antibody bayi
vs.ibu[18]:
Hitung
darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar
imunologis.
EIA
atau ELISA dan tes Western Blot: Mungkin positif, tetapi invalid
Kultur
HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia, plasma).
Tes
reaksi rantai polymerase dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi DNA viral
pada adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer terinfeksi.
Antigen
p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat menjadi indikatif
dari kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap sanagt awal
infeksi HIV)
Penentuan
immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN, dan IgA): Bukan
diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunoogis.
Diagnosis pada Bayi dan Anak
Bayi
yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode
neonatal. Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah
pneumonia yang disebabkan Pneumocystis
carinii. Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan ifeksi HIV adalah
gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau
hepatosplenomegali (pembesaran hapar dan lien)[17].
Karena
antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes
ELISA dan Western Blot akan positif
meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes
ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes
paling spesifik untuk mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang
berlainan. DNA PCR pertama diambil saat bayi berusia 1 bulan karena tes ini
kurang sensitive selama periode satu bulan setelah lahir. CDC merekomendasikan
pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat bulan. Jika
tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut
mendapatkan ASI, maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang
setelah bayi disapih. Pada usia 18 bulan, pemeiksaan ELISA bisa dilakukan pada
bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain[17].
Anak-anak
berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan kombinasi
antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering
mengalami infeksi bakteri kumat-kumatan, gagal tumbuh atau wasting,
limfadenopati menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan
faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes
konfirmasi lain seperti pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa
digunakan untuk mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan
WHO[17].
CDC
mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung limfosit
CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan
berdasarkan derajat imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B,
C, E). Klasifikasi ini memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien
yang lebih baik. Klasifikasi klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif,
sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka diklasifikasi ini
tidak berubah walaupun terjadi perbaikanstatus karena pemberian terapi atau
factor lain[17].
Menurut
Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV
dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita
terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah supaya tidak hamil,
apabila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan
anaknya, namun bila ibu dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan
dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarga[17].
Uji HIV pada Wanita Hamil
CDC
telah merekomendasikan skrining rutin HIV secara suka rela pada ibu hamil sejak
tahun 2001. Banyak dokter telah mengadopsi kebijakan universal opt-out skrining
HIV (yang berarti bahwa pengujian adalah otomatis kecuali jika wanita secara
khusus memilih untuk tidak di uji) pada wanita
hamil selama tes kehamilan rutin dan telah dieliminasi persyaratan untuk
konseling sebelum uji dilakukan dan persetujuan tertulis untuk tes HIV.
Penelitian dianalisis oleh Angkatan US Preventive Services Task mengungkapkan
bahwa pada tahun 1995 tingkat tes HIV di antara wanita hamil di Amerika Serikat
adalah 41% 9 (dianjurkan dilakukan tes universal pada tahun pertama kehamilan)
dan meningkat menjadi 60% pada 1998. Pada tahun 2005, di negara bagian dan
provinsi Kanada yang telah menerapkan pengujian "opt-out", angka tes
HIV di antara perempuan hamil berkisar antara 71% sampai 98%, dibandingkan
dengan 15% menjadi 83% dalam keadaan dan provinsi yang memiliki Kebijakan
“opt-in” yang membutuhkan seorang wanita untuk secara khusus meminta tes HIV[6].
Identifikasi dini pada wanita hamil
memungkinkan untuk pemberian pengobatan terapi antiretroviral untuk mendukung
kesehatan dan mengurangi risiko penularan bayinya. Tes HIV direkomendasikan Tes
HIV direkomendasikan untuk semua wanita hamil pada kunjungan prenatal pertama.
Tes HIV kedua, selama trimester ketiga sebelum 36 minggu kehamilan, juga
dianjurkan bagi wanita yang berisiko, tinggal di daerah prevalensi HIV tinggi,
atau memiliki tanda-tanda atau gejala yang konsisten dengan infeksi HIV
akut[6].
Jika
seorang wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika dia tiba saat
persalinan dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan. Jika hasil tes awal
positif, segera inisiasi ARV profilaksis yang tepat intravena harus
direkomendasikan tanpa menunggu konfirmasi hasil. Jika wanita menolak
pengujian, bayi baru lahir harus menerima pengujian cepat sesegera mungkin
setelah lahir sehingga profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika
terdapat indikasi.
BAB
II
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
I. Pengkajian.
Pengkajian
dan Masalah Keperawatan
Perjalanan klinis pasien dari tahap
terinfeksi HIV sampai tahap AIDS sejalan dengan penurunan derajat imunitas
pasien, terutama imunitas seluler. Penurunan imunitas biasanya diikuti oleh
adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta
penyakit keganasan.
Tabel 2. Pengelompokkan masalah keperawatan
pasien HIV/AIDS (menurut teori adaptasi).
Masalah
Fisik
|
Masalah
Psikis
|
Masalah
Sosial
|
Masalah Ketergantungan
|
1. Sistem
pernapasan: dipsnea, TBC, dan pneumonia
2. Sistem pencernaan: nausea, vomiting, diare,
dysphagia, dan BB turun 10% per 3 bulan
3. Sistem
persarafan: letargi, nyeri sendi, dan enchepalopathy
4. Sistem
integument: edema yang disebabkan kaposis carkoma, lesi di kulit atau mukosa,
dan alergi
5. Lain-lain:
demam dan resiko menularkan
|
1. Integritas ego:
perasaan
tidak
berdaya/putus
asa
1.Factor stress:
baru/lama
3. Respon psikologis:
menyangkal,
marah, cemas,
dan
mudah
tersinggung.
|
1. Perasaan
minder
dan tidak berguna di
masyarakat
2. Interaksi
social:
Perasaan terisolasi/ditolak
|
Perasaan membutuhkan pertolongan orang
lain.
|
Pengkajian Riwayat Obstetri
Memberikan
intormasi yang penting mengenai kehamilan sebelumnya agar perawat dapat
menentukan kemungkinan masalah pada kehamilan-sekarang. Riwayat Obstetri
meliputi hal-hal di bawah ini.
a.
Gravida, para-abortus, dan anak hidup (GPAH).
b.
Berat badan bayi waktu lahir dan usia gestasi.
c.
Pengalaman persalinan, jenis persalinan, tempat persalinan, dan penolong
persalinan.
d.
jenis anestesi dan kesulitan persalinan.
e.
Komplikasi maternal seperti diabetes, hiperlensi, infeksi, dan perdarahan.
f.
Komplikasi pada bayi.
g.
Rencana menyusui bayi.
Riwayat Menstruasi
Riwayat menstruasi yang lengkap diperlukan untuk
menentukan taksiran persalinan (TP). TP ditentukan berdasarkan hari pertama
haid terakhir (HPHT). Untuk menentukan TP berdasarkan HPHT dapat digunakan
rumus Naegle, yaitu Hari ditambah tujuh, bulan dikurangi tiga, tahun
disesuaikan.
Contoh:
HPHT 30 Agustus 2004 berarti TP tanggal 6
Juni 2005. Aturan Naegle lebih akurat dilakukan pada ibu dengan siklus
menstruasi yang teratur dengan 28 hari, kurang akurat pada ibu dengan siklus
menstruasi yang tidak teratur.
Riwayat Kontrasepsi
Beberapa
bentuk kontrasepsi dapat berakibat buruk pada janin, ibu, atau keduanya.
Riwayat kontrasepsi yang lengkap harus didlapatkan pada saat kunjungan pertama.
Penggunaan kontrasepsi oral sebelum kelahiran dan berlanjut saat kehamilan yang
tidak diketahui dapat berakibat buruk pada pembentukan organ seksual janin.
Riwayat Penyakit dan Operasi
Kondisi kronis (menahun/terus menerus)
seperti DM, hipertensi, dan penyakit ginjal bisa berefek buruk pada kehamilan.
Oleh karena itu adanya penyakit infeksi, prosedur infeksi dan trauma pada
persalinan sebelumnya harus didokumentasikan.
Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan
yang dikaji meliputi hal-hal sebagai berikut.
b. Usia, ras, dan
latar belakang etnik (berhubungan dengan kelompok risiko tinggi untuk masalah
genelis seperti anemia sickle sel, talasemia).
c. Penyakit pada masa
kanak-kanak dan imunisasi.
d. Penyakit kronis
(menahun/terus-menerus).
e. Penyakit
sebelumnya, prosedur operasi, dan ccdera (pelvis dan pinggang).
f. Infeksi sebelumnya
seperti hepatitis, penyakit menular seksual, dan tuberkulosis.
g. Riwayat dan
perawalan anemia.
h. Fungsi vesika
urinaria dan bowel (fungsi dan perubahan).
i. Jumlah konsumsi
katein tiap hari seperti kopi, teh, coklat, dan minuman ringanlainnya,
j. Merokok (Jumlah
batang per hari).
k. Kontak dengan
hewan peliharaan seperti kucing dapat meningkatkan risiko terinfeksi
toxoplasma.
l. Alergi dan
sensitif dengan obat.
m. Pekerjaan yang
berhubungan dengan risiko penyakit.
n. Riwayat keluarga.
Memberikan informasitentang kesehatan
keluarga, termasuk penyakit kronis (menahun/terus--menerus) seperti diabetes
melilus dan jantung, infeksi seperti tuberkulosis dan hepatitis, serta riwayat
kongenital yang perlu dikumpulkan.
o. Riwayat kesehatan
pasangan.
Untuk menentukan kemungkinan masalah
kesehatan yang berhubungan dengan masalah genetik, penyakit kronis, dan
infeksi. Penggunaan obat-obatan seperti kokain dan alkoholakanberpengaruh pada
keraampuankeluarga untuk menghadapa kehamilan dan persalinan. Rokok yang
digunakan oleh ayah akan berpengaruh pada ibu dan janin, terulama risiko
mengalami komplikasi pernapasan akibat sebagai perokok pasif. Golongan darah
dan tipe Rhesus ayah penting jika ibu dengan Rh negatif dan kemungkinan inkompabilitas
darah dapat terjadi.
Pemeriksaan Fisik
a. Tanda Tanda Vital
1). Tekanan darah
Posisi pengambilan tekanan
darah sebaiknya ditetapkan, karena posisi akan memengaruhi tekanan darah pada
ibu hamil. Sebaiknya tekanan darah diukur pada posisi duduk dengan lengan
sejajar posisi jantung. Pendokumentasian perlu dicatat posisi dan tekanan darah
yang didapatkan.
2). Nadi
Frekuensi nadi normalnya
60-90 kali per menit. Takikardi bisa terjadi pada keadaan cemas, hipertiroid,
dan infeksi. Nadi diperiksa selama satu menit penuh untuk dapat menentukan
keteraturan detak jantung. Nadi diperiksa untuk menentukan masalah sirkulasi
tungkai, nadi seharusnya sama kuat dan teratur.
3). Pernapasan
Frekuesi pernapasan selama
hamil berkisar antara 16-24 kali per menit. Takipnea terjadi karena adanya
infeksi pernapasan atau penyakit jantung. Suara napas hams sama bilateral,
ekspansi paru simetris, dan lapangan paru bebas dari suara napas abdominal.
Pemeriksaan fisik
1.Breating
Kaji pernafasan
bumil, apabila ibu telah terinfeksi sistem pernafasan maka sepanjang jalur pernafasan akan mengalami gangguan.
Misal RR meningkat, kebersihan jalan nafas.
2.Blood
Pemeriksaan darah
meliputi pemeriksaan virus HIV/AIDS. Penurunan sel T limfosit; jumlah sel T4
helper; jumlah sel T8 dengan perbandingan 2:1 dengan sel T4; peningkatan nilai
kuantitatif P24 (protein pembungkus HIV); peningkatan kadar IgG, Ig M dan Ig A;
reaksi rantai polymerase untuk mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada
infeksi sel perifer monoseluler; serta tes PHS (pembungkus hepatitis B dan
antibodi,sifilis, CMV mungkin positif).
3.Brain
Tingkat kesadaran
bumil dengan HIV/AIDS terkadang mengalami penurunan karena proses penyakit. Hal
itu dapat disebabkan oleh gangguan imunitas pada bumil.
4. Bowel
Keadaan sisitem pencernaan
pada bumil akan mengalami gangguan. Kebanyakan gangguan tersebut adalah diare
yang lama. Hal itu disebabkan oleh penurunan sistem imun yang berada di tubuh
sehingga bakteri yang ada di saluran pencernaan akan mengalami gangguan. Hal
itu dapat menyebabkan infeksi saluran pencernaan.
5. Bladder
Kaji tingkat urin
klien apakah ada kondisi patologis seperti perubahan warna urin, jumlah dan
bau. Hal itu dapan mengidentifikasikan bahwa ada gangguan pada sistem
perkemian. Biasanya saat imunitas menurun resiko infeksi pada uretra klien.
6. Bone
Kaji respon klien,
apakah mengalami kesulitan bergerak,reflek pergerakan. pada ibu hamil kebutuhan
akan kalsium meningkat,periksa apabila ada resiko osteoporosis. Hal itu dapat
memburuk dengan bumil HIV/AIDS.
4). Suhu
Suhu
normal selama hamil adalah 36,2-37,6 °C. Peningkatan suhu menandakan terjadi
infeksi dan membutuhkan perawatan medis.
b. Sistem Kardiovaskuler
Bendungan vena
Pemeriksaan sistem
kardiovaskular adalah observasi terhadap bendungan vena, yang bisa berkembang
menjadi varises. Bendungan vena biasanya terjadi pada tungkai, vulva, dan
rektum
Edema
Edema pada tungkai merupakan
refleksi dari pengisian darah pada ekstremitas akibat perpindahan cairan
intravaskular ke ruang intertisial. Ketika dilakukan penekanan dengan jari atau
jempol menyebabkan terjadinya bekas tekanan, keadaan ini disebut pitting edema.
Edema pada tangan dan wajah memerlukan pemeriksaan lanjut karena merupakan
tanda dari hipertensi pada kehamilan.
c. Sistem Muskuloskeletal
1). Postur
Mekanik tubuh dan perubahan postur bisa terjadi selama
kehamilan. Keadaan ini mengakibatkan regangan pada otot punggung dan tungkai.
2). Tinggi dan berat badan
Berat badan awal kunjungan dibutuhkan sebagai data dasar
untuk dapat menentukan kenaikan berat badan selama kehamilan. Berat badan
sebelum konsepsi kurang dari 45 kg dan tinggi badan kurang dari 150 cm ibu
berisiko melahirkan bayi prematur dan berat badan lahir rendah. Berat badan
sebelum konsepsi lebih dari 90 kg dapat menyebabkan diabetes pada kehamilan,
hipertensi pada kehamilan, persalinan seksio caesarea, dan infeksi postpartum.
3). Pengukuran pelviks
Tulang pelviks diperiksa pada awal kehamilan untuk
menentukan diameternya yang berguna untuk persalinan per vaginam.
4). Abdomen
Kontur, ukuran, dan tonus otot abdomen perlu dikaji.
Tinggi fundus diukur jika fundus bisa dipalpasi diatas simfisis pubis. Kandung
kemih harus dikosongkan sebelum pemeriksaan dilakukan untuk menetukan
keakuratannya. Pengukuran metode Mc Donald dengan posisi ibu berbaring.
d. Sistem neurologi
Pemeriksaan
neurologi lengkap tidak begitu diperlukan bila ibu tidak memiliki tanda dan
gejala yang mengindikasikan adanya masalah. Pemeriksaan refleks tendon
sebaiknya dilakukan karena hiperefleksi menandakan adanya komplikasi kehamilan.
e. Sistem Integumen
Warna
kulit biasanya sama dengan rasnya. Pucat menandakan anemis, jaundice menandakan
gangguan pada hepar, lesi, hiperpigmentasi seperti cloasma gravidarum, serta
linea nigra berkaitan dengan kehamilan dan strie perlu dicatat. Penampang kuku
ber warna merah muda menandakan pengisian kapiler baik.
f. Sistem endokrin Pada trimester kedua kelenjar tiroid
membesar, pembesaran yang berlebihan menandakan hipertiroid dan perlu
pemeriksaan lebih lanjut.
g. Sistem Gatsrointestinal
Mulut
Membran
mukosa berwarna merah muda dan lembut. Bibir bebas dari ulserasi, gusi berwarna
kemerahan, serta edema akibat efek peningkatan estrogen yang menyebabkan
hiperplasia. Gigi terawat dengan baik, ibu dapat dianjurkan ke dokter gigi
secara teratur karena penyakit periodontal menyebabkan infeksi yang memicu
terjadinya persalinan prematur. Trimester kedua lebih nyaman bagi ibu untuk
melakukan perawatan gigi.
Usus
Stetoskop
yang hangat untuk memeriksa bising usus lebih nyaman untuk ibu hamil. Bising
usus bisa berkurang karena efek progesteron pada otot polos, sehingga
menyebabkan konstipasi. Peningkatan bising usus terjadi bila menderita diare.
h. Sistem Urinarius
Protein
Protein
seharusnya tidak ada dalam urine. Jika protein ada dalam urine, hal ini
menandakan adanya kontaminasi sekret vagina, penyakit ginjal, serta hipertensi
pada kehamilan.
Glukosa
Glukosa
dalam jumlah yang kecil dalam urine bisa dikatakan normal pada ibu hamil.
Glukosa dalam jumlah yang besar membutuhkan pemeriksaan gula darah.
Keton
Keton
ditemukan dalam urine setelah melakukan aktivitas yang berat atau pemasukan
cairan dan makanan yang tidak adekuat.
Bakteri
Peningkatan
bakteri dalam urine berkaitan dengan infeksi saluran kemih
yang
biasa terjadi pada ibu hamil.
i. Sistem reproduksi
1). Ukuran payudara, kesimetrisan, kondisi
puling, dan pengeluaran kolostrum perlu dicatat. Adanya benjolan dan tidak
simetris pada payudara membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.
2).
Organ reproduksi eksternal
Kulit
dan membran mukosa perineum, vulva, dan anus perlu diperiksa dari eksoriasi,
ulserasi, lesi, varises, dan jaringan parut pada perineum.
3).
Organ reproduksi internal
Serviks
berwarna merah muda pada ibu yang tidak hamil dan berwarna merah kebiruan pada
ibu hamil yang disebut tanda Chadwik.
II.
Diagnosa
keperawatan
1. Kekurangan volume cairan
b.d diare berat
2. Perubahan nutrisi :
kurang dari kebutuhan tubuh b.d pengeluaran yang berlebihan
( muntah dan diare berat )
3. Nyeri b.d infeksi
4. Kerusakan integritas
kulit b.d diare berat
5. Ansietas b.d transmisi
dan penularan interpersonal ( pada bayi )
6. Resiko tinggi isolasi
sosial b.d persepsi tentang tidak akan diterima dalam masyarakat
III. Intervensi Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan
b.d diare berat
Tujuan :
- Mempertahankan hidrasi
Intervensi
|
Rasional
|
|
|
2. Perubahan
nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d pengeluaran yang berlebihan ( muntah
dan diare berat )
Tujuan:
- mempertahankan massa otot yang adekuat
- mempertahankan berat antara 0,9-1,35
kg dari berat sebelum sakit
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Tentukan berat badan umum sebelum pasien didiagnosa HIV
2.
Buat ukuran antropometri terbaru.
3.
Diskusikan/catat efek-efek samping obat-obatan terhadap nutrisi.
4.
Sediakan informasi ,mengenai nutrisi dengan kandungan kalori, vitamin,
protein, dan mineral tinggi. Bantu pasien merencanakan cara untuk
mempertahankan/menentukan masukan.
5.
Tekankan pentingnya mempertahankan keseimbangan/pemasukan nutrisi adekuat.
|
1.
Penurunan berat badan dini bukan ketentuan pasti grafik berat badan dan
tinggi badan normal. Karenanya penentuan berat badan terakhir dalam
hubungannya berat badan dan pra-diagnosa lebih bermanfaat.
2.
Membantu memantau penurunan dan menentukan kebutuhan nutrisi sesuai dengan
perubahan penyakit.
3.
Identifikasi dari faktor-faktor ini dapat membantu merencanakan kebutuhan
individu. Pasien dengan infeksi HIV menunjukkan deficit mineral renik zinc,
magnesium, selenium. Penyalahgunaan alcohol dan obat-obatan dapat mengganggu
asupan adekuat.
4.
Umunya obat-obatan yang digunakan menyebabkan anoreksia dan mual/muntah;
beberapa mempengaruhi produksi SDM sumsum tulang.
5.
Memiliki informasi ini dapat membantu pasien memahami pentingnya diet seimbang.
Sebagaian pasien mungkin akan mencoba diet makrobiotik maupun diet jenis
lain.
|
3. Nyeri b.d infeksi
Tujuan:
- Pasien bisa mengontrol
nyeri/rasa sakit
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 1-10), frekuensi,
dan waktu. Menandai gejala nonverbal misal gelisah, takikardia, meringitas.
2.
Dorong pengungkapan perasaan.
3.
Berikan aktivitas hiburan, mis.,
membaca, berkunjung, dan menonton televisi.
4.
Lakukan tindakan paliatif, mis., pengubahan posisi, masase, rentang gerak
pada sendi yang sakit.
5.
Berikan kompres hangat/lembab pada sisi injeksi pentamidin/IV selama 20 menit
setelah pemberian.
6.
Instruksikan pasien/dorong untuk menggunakan visualisasi/bimbingan imajinasi,
relaksasi progresif, teknik napas dalam.
7. Berikan perawatan oral.
|
1.
Mengindikasikan kebutuhan untuk intervensi dan juga. Tanda-tanda
perkembangan/ resolusi komplikasi. Catatan: sakit yang kronis tidak
menimbulkan perubahan autonomic.
2.
Dapat mengurangi ansietas dan rasa takut, sehingga mengurangi persepsi
akan intensitas rasasakit.
3.
Memfokuskan kembali perhatian; mungkin dapat meningkatkan kemampuan untuk
menanggulangi.
4.
Meningkatkan relaksasi/menurunkan tegangan otot.
5.
Injeksi ini diketahui sebagai penyebab rasa sakit dan abses steril.
6.
Meningkatkan relaksasi dan perasaan sehat. Dapat menurunkan kebutuhan
narkotik analgesik (depresan SSP) dimana telah terjadi proses degenaratif
neuro/motor. Mungkin tidak berhasil jika muncul demensia, meskipun minor.
7.
Ulserasi/lesi oral mungkin menyebabkan ketidak nyamanan yang sangat.
|
4. Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan diare berat
Tujuan:
- Pasien menunjukkan
perbaikan integritas kulit
Intervensi
|
Rasional
|
1.
Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi, dan sensasi.
lambarkan lesi dan amati perubahan.
|
1.
Menentukan garis dasar diamana perubahan pada status dapat dibandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat.
|
2.
Secara teratur ubah posisi, ganti seprei sesuai kebutuhan. Dorongn pemindahan
berat badan secara periodik. Lindungi penonjolan tulang dengan bantal,
bantalan tumit/siku, kulit domba.
|
2.
Mengurangi stress pada titik tekannan, meningkatkan aliran darah ke jaringan
dan meningkatkan proses kesembuhan.
|
3.
Pertahankan seprei bersih, kering, dan tidak berkerut
|
3.
Fiksasi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang menyebabkan
iritasi dan potensial terhadap infeksi.
|
4. Gunting kuku secara
teratur.
|
4.
Kuku yang panjang/kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.
|
NANDA
– NOC – NIC
1. Risiko
infeksi definisi peningkatan risiko untuk penyerbuan dari organism patogenik
Faktor
Risiko:
Inadekuat imunitas
NOC
Keparahan
infeksi
Status
imunitas :
Screening infeksi saat ini
Kehilangan berat badan
NIC
Infection
control (Perlindungan terhadap infeksi)
Membersihkan lingkungan tepat setelah
setiap kali digunakan pasien
mengganti peralatan perawatan pasien per lembaga protokol
mengganti peralatan perawatan pasien per lembaga protokol
Mengurangi jumlah pengunjung, jika
diperlukan
Ajarkan cara mencuci tangan untuk
kesehatan personil
Minta pasien untuk selalu mencuci tangan
sebelum dan sesudah aktifitas
Memastikan penanganan aseptic pada semua
pengobatan IV
Memastikan teknik perawatan luka yang
tepat
Mendorong pasien untuk banyak
beristirahat
Mempromosikan pemasukan nutrisi yang
dibutuhkan
2.
Ketidakseimbangan Nutrisi: Kurang dari
Kebutuhan Tubuh definisi Pemasukan
nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.b.d factor biologi/ ketidakmampuan ingesti makanan/ ketidakmampuan
mencerna makanan
Ditandai
dengan:
kurang tertarik pada makanan
kelemahan otot yang diperlukan untuk menelan
dan mengunyah
diare
(wasting syndrome)
NOC
Status gizi
Makanan oral,
Pemberian makanan lewat slang,
atau nutrisi parenteral total
Asupan cairan oral atau IV
NIC
Nutrition
Management
Gali
apakan pasien memiliki riwayat allergi makanan
Pastikan
pilihan makanan klien
Kolaborasi
dengan ahli diet, menentukan jumlah kalori dan tipe zat gizi yang dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
Anjurkan
klien meningkatkan intake protein, zat besi dan vitamin C
Tawarkan
makanan ringan
Pastikan
diet mengandung makanan berserat tinggi untuk mencegah konstipasi
Sediakan
pilihan makanan
Nilai
kemampuan pasien memenuhi kebutuhan nutrisi
Berikan
substansi gula
Pantau
jumlah nutrisi dan kandungan kalorinya
Nutrition
Monitoring
Ukur
BB klien
Pantau
perubahan kenaikan dan penurunan BB
Pantau
type dan jumlah aktivitas yang bisa dilakukan
Pantau
respon emosi pasien saat melakukan kegiatan yang berhubungan dengan makan dan
makanan.
Pantau
interaksi orang tua/anak selama pemberian makan
Pantau
lingkungan selama makan
Jadwalkan tindakan dan pengobatan pada waktu diluar waktu makan
Pantau
adanya kekeringan, defigmentasi dan sisik pada kulit
Pantau
turgor kulit
Pantau
adanya mual dan muntah
Pantau
nilai albumin, protein total, Hb dan Hct
Pantau
limfosit dan elekrolit
Pantau
tingkat energi, kelelahan, lemas, dan lemah
Pantau
asupan zat gizi dan kalori
Tentukan
apakah klien memerlukan diet khusus
Pantau
pilihan dan pemilihan makanan
Catat
perubahan besar pada status nutrisi dan lakukan pengobatan
Berikan
lingkungan yang optimal saat waktu makan
3.
Kecemasan definisi perasaan gelisah yang tidak
jelas atau ketidaknyamanan atau ketakutan diikuti dengan respon autonom
(sumbernya kadang nonspesifik atau tidak diketahui oleh individu); perasaan
dari keprihatinan yang disebabkan oleh antisipasi dari bahaya. Itu merupakan
sinyal siaga yang mengingatkan akan datangnya bahaya dan kemampuan individu untuk
mengukur adanya ancaman b.d
Perubahan status kesehatan/ Stress/ Ancaman dari status kesehatan/ Fungsi
peran.
Ditandai
dengan:
Kurang istirahat
Ketakutan
Kelemahan
Kebingungan
NOC
Mengakui
dan mendiskusikan takut/ masalah
Menunjukkan
rentang perasaan yang tepat dan penampilan wajah tampak rileks/ istirahat
Menyatakan
pengetahuan yang akurat tentang situasi.
NIC
Kontrol
kecemasan diri
Monitor
intensitas
Kecemasan
Mencari
informasi untuk mengurangi cemas
Merencanakan
strategi koping untuk situasi stress
Gunakan
teknik relaksasi untuk mengurangi cemas
4. Hipertermi
definisi Suhu tubuh tinggi di atas
range normal b.d Penyakit
Ditandai
dengan:
Peningkatan suhu tubuh diatas range
normal
Hangat ketika disentuh
Takikardi
NOC
Thermoregulasi
(Keseimbangan antara produksi panas,
perolehan panas, dan kehilangan panas tubuh)
Hidrasi
Cairan yang adekuat dalam kompartemen
ekstra seluler dan intraseluler tubuh)
Status
Imun
(Pertahanan alamiah dan yang dibutuhkan
secara tepat terhadap antigen internal dan eksternal)
NIC
Fever Treatment
Pantau
suhu secara teratur
Pantau
IWL
Pantau
warna kulit dan suhu
Pantau
tekanan darah, nadi, dan respirasi
Pantau
adanya penurunan kesadaran
Pantau
adanya serangan panas
Pantau
intake dan output
Berikan
medikasi antipiretik, sesuai anjuran
Berikan
medikasi untuk mengobati penyebab demam, sesuai anjuran
Selimuti
pasien dengan selimut tipis
Beri
kantong es yang dibungkus hnduk pada axila dan lipat paha
Tingkatkan
sirkulasi udara menggunakan kipas angin
Dorong klien melakukan oral hygien
Beri
medikasi yang tepat untuk mencegah atau mengontrol menggigil
Temperature
regulation
Pantau
suhu tubuh setiap 2 jam
Pantau
tekanan darah, nadi dan pernafasan
Pantau
warna kulit dan suhu tubuh
Pantau
dan catat adanya tanda dan gejala hypotermi atau hipertermi
Dukung asupan cairan dan makanan yang adekuat
Ajarkan
klien cara untuk mencegah keletihan karena panas
Barikan medikasi
antipiretik, jika perlu
5. Menyusui
yang dihentikan definisi
Pengistirahatan dari kelanjutan proses menyusui sebagai akibat dari
ketidakmampuan atau ketidakbijaksanaan untuk memberikan air susu sebagai
makanan kepada bayi b.d Penyakit ibu
Ditandai
dengan:
Pemisahan ibu dan bayi
DAFTAR PUSTAKA
Hartati
Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan HIV-AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah
Keperawatan Vol. 2 No.1 Juni 2009.
Siregar
FA. Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. Medan. Universitas Sumatera Utara,
2004.
Anonymous.
2007. Rencana Nasional Penanggulangan HIV-AIDS
di Indonesia 2007-2010. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS.
Susanti NN.
Psikologi Kehamilan. Jakarta: EGC, 2000.
Hartati
N, Suratiah, Iga OM. Ibu hamil dengan HIV-AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah
Keperawatan. 2009:2:1.
Nursalam,
Kurniawan ND. 2007. Asuhan Keperawatan
pada Pasien Terinfeksi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika
Doengoes
ME & Mary Drances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Price
SA, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC.
Trsetianingsih Y. 2011. Keperawatan Ibu Hamil. Yogyakarta:
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES A. Yani.